Sabtu, 06 Juni 2015

Perlindungan Konsumen Di Indonesia

TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI (SOFTSKILL)
TUGAS KE 4
Nama  : Anita
NPM    : 21213091
Kelas   : 2EB26
UNIVERSITAS GUNADARMA
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Pengertian Konsumen, Hak Konsumen, dan Kewajiban Konsumen
Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen - Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, "Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali".
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4 Hak Konsumen adalah:
  • hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  • hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  • hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  • hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  • hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  • hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  • hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  • hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  • hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban/Tanggungjawab Konsumen adalah :
·         membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

·         beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

·         membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

·         mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pelaku Usaha
Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
Ø  Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Ø  Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Ø  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Ø  Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Ø  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
Ø  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Ø  Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Ø  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Ø  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Ø  Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Ø  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Ø  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
a)         Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).
b)        Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
c)         Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Ø  Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ø  Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
Ø  Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
Ø  Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
Ø  Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
Ø  Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
Ø  Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
Ø  Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
Ø  Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
Ø  Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
Ayat (2)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar   tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3)    Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
Ø  Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan.
Ø  Cacat barang timbul pada kemudian hari.
Ø  Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
Ø  Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Ø  Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
   -   Pengembalian uang atau
   -   Penggantian barang atau
   -   Perawatan kesehatan, dan/atau
   -   Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-   Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10,
    13 ayat (2),  15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-   Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
    13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
ü  Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
ü  Hukuman tambahan , antara lain :
Ø  Pengumuman keputusan Hakim
Ø  Pencabuttan izin usaha.
Ø  Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
Ø  Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
Ø  Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Efektifkah Perlindungan Konsumen ?
Produk pangan mengandung bahan tambahan yang dilarang masih sering ditemukan di pasaran. Temuan kosmetik mengandung bahan berbahaya juga kerap diumumkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Demikian juga jamu yang mengandung bahan kimia obat.
Kenapa pelanggaran-pelanggaran ini masih selalu ditemukan, padahal jelas ada regulasi yang mengaturnya? Jawabannya tentu saja pengawasan yang tidak berjalan, dan tidak ada tanggung jawab dari para produsen produk-produk tersebut. Namun tidak jarang juga konsumen yang dipersalahkan. Konsumen dituntut untuk cerdas dan kritis dalam memilih produk. Bagaimana konsumen mampu memilih untuk hal yang disebutkan di awal tadi? Semua itu baru dapat diketahui setelah melalui uji laboratorium. Tidak mungkin mengharapkan konsumen menguji terlebih dahulu produk yang akan dikonsumsinya. Belakangan santer dikampanyekan perlunya standar untuk menjamin keamanan serta kualitas produk yang diproduksi dan diperjualbelikan. Pertanyaannya kemudian, apakah keberadaan standar mampu mencegah beredarnya produk-produk yang tidak aman dan tidak berkualitas? Bagaimana sebenarnya keterkaitan standar dengan perlindungan konsumen?
UU Perlindungan Konsumen
Dalam konteks perlindungan konsumen, standar memang seharusnya punya peran penting. Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UUPK Nomor 8 Tahun 1999. Pasal 7, di antara Kewajiban Pelaku Usaha adalah (d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang berlaku. Apabila tidak? Jangan main-main, UU ini juga menetapkan sanksi yang cukup berat bagi para pelanggarnya. Melanggar Pasal 8, berarti siap dengan ancaman kurungan maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62). Meski kenyataannya, kita tidak pernah tahu apakah pelanggar-pelanggar seperti diceritakan di awal tulisan ini sempat dikenakan sanksi atau tidak.
Standar, Untuk Siapa?
Indonesia telah menerbitkan tidak kurang dari 6.000 standar, termasuk di dalamnya standar terkait produk pangan, kosmetik, elektronik, alat kebutuhan rumah tangga, otomotif, dan lain sebagainya. Standar-standar ini disusun melalui proses yang tidak sederhana. Harus melalui konsensus, yang diikuti oleh seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah (dari berbagai sektor), pelaku usaha, konsumen, dan akademisi. Demikian teorinya. Mengingat proses ini, mestinya tidak ada alasan untuk tidak menerapkan standar ini. Pelaku usaha secara otomatis mengikuti standar dalam memproduksi produknya, pemerintah juga melakukan pengawasan berdasarkan standar ini. Namun kenyataannya tidak demikian. Sebagai contoh saja, penelitian yang pernah dilakukan YLKI terhadap 30 sampel produk ikan dalam saos tomat, menemukan hanya satu sampel yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam standar. Pada saat temuan ini dibawa dalam suatu diskusi, para pelaku usaha produk ini mengaku sulit, atau bahkan tidak mungkin, memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kalau sudah begini, untuk apa sebenarnya standar dibuat?
Standar yang ditetapkan ternyata tidak ‘harus’ diikuti. Karena ada, bahkan sebagian besar, standar hanya bersifat sukarela. Artinya, terserah para produsen dan pelaku usaha untuk menerapkan standar atau tidak. Tidak ada kewajiban untuk itu. Tidak akan dipersalahkan apabila produsen menghasilkan produk yang tidak sesuai bahkan di bawah standar yang ditetapkan.
Berbeda halnya bila suatu standar ditetapkan wajib. Pelaku usaha, minimal, harus memenuhi persyaratan standar tersebut. Malangnya, baru sebagian kecil produk yang diwajibkan untuk memenuhi standar. Hingga saat ini baru 59 SNI yang ditetapkan wajib. Untuk produk pangan saja, baru ada lima produk yang memiliki standar wajib: air minum dalam kemasan, tepung terigu, garam beryodium, kakao dan gula rafinasi. Produk lain diantaranya ban, besi baja, kabel listrik, lampu swabalast, seterika listrik dan lainnya.
Untuk produk yang telah diuji dan memenuhi standar, setelah memperoleh SPPT SNI (Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI) yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan atau produknya. Logo atau penandaan SNI seharusnya dapat digunakan konsumen sebagai panduan dalam memilih produk. Sayangnya, masih banyak konsumen yang belum mengetahui keberadaan serta makna SNI ini. Di sisi lain, bagi yang telah mengetahuinya, ternyata sangat sulit menemukan produk yang mencantumkan tanda SNI, karena masih sangat sedikitnya produk yang memiliki sertifikat SNI. Sebenarnya, apa tujuan dibentuknya standar, dan untuk siapa standar dibuat? Tujuan standar diantaranya adalah memberi jaminan keamanan dan mutu bagi konsumen, dan membangun persaingan yang sehat pada pelaku usaha. Standar merupakan kualifikasi (minimal) tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa, sebelum dilempar ke pasar, dan dimanfaatkan konsumen.
Lalu, apa fungsi standar? Bagi pemerintah, standar dibuat untuk menentukan kriteria keamanan dan kualitas yang harus dipenuhi oleh suatu produk tertentu. Pelaku usaha yang memproduksi jenis produk tersebut, minimal harus memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam standar. Oleh karena itu, standar juga dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat kontrol, untuk memastikan produk yang beredar di pasar memang layak dikonsumsi. Karena standar merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi, pelaku usaha dapat berkreasi mencari nilai tambah produk dibandingkan produk sejenis lainnya. Di samping itu, pelaku usaha dapat memperoleh sertifikat SNI, dikeluarkan oleh LSPro, yang merupakan pengakuan terhadap kualitas hasil produksinya. Dengan memiliki sertifikat, pelaku usaha berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan produknya.
Bagi konsumen sendiri, penandaan SNI pada suatu produk sebenarnya dapat dijadikan dasar memilih produk. Penandaan ini merupakan jaminan dan kepastian bahwa produk tersebut telah memenuhi syarat yang ditetapkan serta aman dan layak dikonsumsi. Sayangnya, seperti disebutkan di atas, masih belum banyak masyarakat yang memahami standar dan arti logo SNI pada produk. Di sisi lain, belum banyak juga jenis produk yang telah memiliki sertifikat dan mencantumkan logo SNI.
Masyarakat justru lebih mengenali penandaan atau klaim-klaim selain SNI yang dicantumkan pada kemasan, dan menjadikannya dasar untuk memilih. Misalnya saja keterangan atau logo ‘halal’, atau keterangan ‘organik’ yang menunjukkan produk tersebut bebas dari pestisida dan pupuk kimia. Atau klaim produk lain seperti ‘non toxic’, ‘save energy’, dan lainnya, meskipun tidak ada kepastian kebenaran dari klaim-klaim tersebut.
Pengawasan
Standar akan berperan dalam perlindungan konsumen apabila pengawasan dilakukan dengan benar. Yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah melakukan pengawasan baik sebelum produk dipasarkan, maupun setelah produk beredar di pasar, termasuk untuk produk-produk impor. Sayangnya, untuk produk selain pangan, obat, dan kosmetik yang berada di bawah tanggung jawab BPOM, tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk pengawasan post-market. Konon, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan hanya mengawasi produk-produk yang wajib menerapkan SNI. Sampai saat ini pun kita belum pernah mendengar apakah institusi ini pernah menemukan pelanggaran SNI wajib, serta tindakan apa yang diambil. Tindakan tegas dan penegakan hukum menjadi sangat penting apabila pemerintah benar-benar ingin melindungi masyarakat. Sesungguhnya, peran pengawasan juga menjadi kewajiban pelaku usaha, dengan memastikan quality control dan quality assurance berjalan sebagaimana mestinya. Serta memastikan menerapkan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir. Konsumen pun dapat berperan dengan berani bertindak apabila menemukan produk yang dicurigai tidak memenuhi standar dan peraturan.
Dengan adanya berbagai perjanjian global yang memaksa Indonesia menerima produk-produk impor hampir tanpa batasan apapun, standar menjadi instrumen penting untuk memastikan produk yang masuk ke Indonesia adalah produk-produk yang baik. Tanpa adanya standar, pemerintah tidak punya alasan untuk mencegah masuknya produk impor yang tidak berkualitas. Meski seharusnya, untuk hal-hal terkait faktor keamanan, pemerintah tidak perlu menunggu standar untuk melakukan pengawasan dan pencegahan di pintu masuk impor. Semoga… Oleh: Huzna G. Zahir
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
Pastikan Buah Apel Impor Bebas Bakteri Listeria! #‎CaramelApples #‎ProdukPanganTerkontaminasiListeria. January 27, 2015
Apa itu Listeria? Nama lengkapnya Listeria Monocytogenes, bakteri patogen yang dapat menyebabkan keracunan dengan gejala yang timbul dapat berupa gangguan pencernaan seperti mual, muntah, nyeri disertai deman. Gejala tersebut dapat berlanjut menjadi lebih serius pada pasien yang memiliki daya tahan tubuh rendah, pasien lanjut usia, serta dapat menyebabkan keguguran janin pada wanita hamil. Lalu apa urusannya dengan kita? Saat ini telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Listeriosis yang disebabkan konsumsi produk Caramel Apples yang tercemar bakteri patogen tersebut di Amerika Serikat. Sekitar 32 orang telah menjadi korban di 11 negara bagian di Negeri Paman Sam tersebut setelah mengonsumsi Caramel Apples, dengan nama dagang Happy Apple (Lochirco Fruit & Produce, Inc), Karm’l Dapple, Carnival (California Snack Foods, of El Monte, California), dan nama dagang Merb’s Candies (Sugar Daddy Ltd). Karena kasus tersebut, 3 perusahaan produsen produk tersebut telah melakukan penarikan terhadap produk Caramel Apples. Terkait dengan kasus keracunan tersebut, pada tanggal 6 Januari 2015, perusahaan pengepakan apel Bidart Bros of Bakersfield, California, juga menarik Apel jenis Gala dengan nama dagang ‘Big B’ dan Apel jenis Granny Smith dengan nama dagang ‘Granny’s Best’. Penarikan dilakukan karena hasil pengujian di lingkungan fasilitas pengepakan menunjukkan adanya cemaran bakteri Listeria dengan karakteristik yang sama dengan yang ditemukan pada pasien keracunan. Bidart Bros merupakan pemasok Apel yang digunakan untuk produksi Caramel Apples.
Nah, sehubungan dengan KLB tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menyatakan bahwa mereka telah menerima informasi lengkap soal penarikan produk-produk Caramel Apples. Juga telah melakukan penelurusan ke pasar domestik (Indonesia). Hasilnya, tidak ada importasi produk olahan Caramel Apples. Selain itu, Badan POM juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan untuk ‘membentengi’ masyarakat Indonesia dari kemungkinan masuknya produk Caramel Apples. Balai Besar/Balai POM di 32 provinsi akan mengawal pengawasan di daerah melalui Jejaring Pengawasan Pangan Daerah. Juga melakukan pencegahan melalui mekanisme Surat Keterangan Impor (SKI) untuk menangkal masuknya produk olahan Caramel Apples.
Melalui keterangan pers yang disebarkan, Badan POM pun mengajak masyarakat untuk berperan serta aktif. Caranya, dengan menginformasikan keberadaan produk olahan Caramel Apples (bila ditemui di pasaran), dan bila memerlukan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Contact Center HALOBPOM 1-500-533. Atau SMS 0-8121-9999-533, atau melalui surat elektronik di halobpom@pom.go.id
Sumber :








Tidak ada komentar:

Posting Komentar