TUGAS ASPEK HUKUM DALAM
EKONOMI (SOFTSKILL)
TUGAS KE 4
Nama : Anita
NPM : 21213091
Kelas : 2EB26
UNIVERSITAS GUNADARMA
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI
INDONESIA
Pengertian Konsumen, Hak
Konsumen, dan Kewajiban Konsumen
Pengertian
Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen - Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, "Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan kembali".
Berdasarkan UU
Perlindungan konsumen pasal 4 Hak Konsumen adalah:
- hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
- hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
- hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
- hak
untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
- hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
- hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban/Tanggungjawab
Konsumen adalah :
·
membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
·
beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
·
membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
·
mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pelaku Usaha
Hak Pelaku Usaha
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
Ø Hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
Ø Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
Ø Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
Ø Hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Ø Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
Ø Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya.
Ø Memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Ø Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Ø Menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku.
Ø Memberi kesempatan kepada konsumen
untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Ø Memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Ø Memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila
dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak
bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
Perbuatan Yang Dilarang
Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 –
17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
kelompok, yakni:
a) Larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).
b) Larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
c) Larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Ada
10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK,
yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang :
Ø Tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ø Tidak sesuai dengan berat bersih, isi
bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
Ø Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
Ø Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
Ø Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
Ø Tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut;
Ø Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa
atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
Ø Tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
Ø Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus di pasang/dibuat.
Ø Tidak mencantumkan informasi dan/atau
petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur
melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku
usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang
disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
Ayat
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi
secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas
dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat:
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Bekas:
sudah pernah dipakai.
Tercemar:
menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak
berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda
tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan
tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu
diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Tanggung Jawab Pelaku
Usaha
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai
akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di
dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.
di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara
itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22
menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di
dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
Ø Barang tersebut terbukti seharusnya
tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan.
Ø Cacat barang timbul pada kemudian
hari.
Ø Cacat timul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang.
Ø Kelalaian yang diakibatkan oleh
konsumen.
Ø Lewatnya jangka waktu penuntutan 4
tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti
rugi dalam bentuk :
-
Pengembalian uang atau
-
Penggantian barang atau
-
Perawatan kesehatan, dan/atau
-
Pemberian santunan
Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan
:
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10,
13 ayat (2), 15, 17
ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d
dan f
ü Ketentuan pidana lain (di luar
Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
ü Hukuman tambahan , antara lain :
Ø
Pengumuman
keputusan Hakim
Ø
Pencabuttan
izin usaha.
Ø
Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa.
Ø
Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa.
Ø
Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Efektifkah Perlindungan
Konsumen ?
Produk
pangan mengandung bahan tambahan yang dilarang masih sering ditemukan di
pasaran. Temuan kosmetik mengandung bahan berbahaya juga kerap diumumkan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Demikian juga jamu yang mengandung
bahan kimia obat.
Kenapa
pelanggaran-pelanggaran ini masih selalu ditemukan, padahal jelas ada regulasi
yang mengaturnya? Jawabannya tentu saja pengawasan yang tidak berjalan, dan
tidak ada tanggung jawab dari para produsen produk-produk tersebut. Namun tidak
jarang juga konsumen yang dipersalahkan. Konsumen dituntut untuk cerdas dan
kritis dalam memilih produk. Bagaimana konsumen mampu memilih untuk hal yang
disebutkan di awal tadi? Semua itu baru dapat diketahui setelah melalui uji
laboratorium. Tidak mungkin mengharapkan konsumen menguji terlebih dahulu
produk yang akan dikonsumsinya. Belakangan santer dikampanyekan perlunya
standar untuk menjamin keamanan serta kualitas produk yang diproduksi dan
diperjualbelikan. Pertanyaannya kemudian, apakah keberadaan standar mampu
mencegah beredarnya produk-produk yang tidak aman dan tidak berkualitas?
Bagaimana sebenarnya keterkaitan standar dengan perlindungan konsumen?
UU
Perlindungan Konsumen
Dalam
konteks perlindungan konsumen, standar memang seharusnya punya peran penting.
Setidaknya, kata-kata standar muncul dalam pasal-pasal Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, UUPK Nomor 8 Tahun 1999. Pasal 7, di antara Kewajiban
Pelaku Usaha adalah (d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku. Demikian juga, Pasal 8 menyebutkan: Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang (a) tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari
pasal-pasal ini jelas bahwa pelaku usaha harus mengikuti standar yang berlaku.
Apabila tidak? Jangan main-main, UU ini juga menetapkan sanksi yang cukup berat
bagi para pelanggarnya. Melanggar Pasal 8, berarti siap dengan ancaman kurungan
maksimal 5 tahun atau denda maksimal 2 milyar rupiah (Pasal 62). Meski
kenyataannya, kita tidak pernah tahu apakah pelanggar-pelanggar seperti diceritakan
di awal tulisan ini sempat dikenakan sanksi atau tidak.
Standar,
Untuk Siapa?
Indonesia
telah menerbitkan tidak kurang dari 6.000 standar, termasuk di dalamnya standar
terkait produk pangan, kosmetik, elektronik, alat kebutuhan rumah tangga,
otomotif, dan lain sebagainya. Standar-standar ini disusun melalui proses yang
tidak sederhana. Harus melalui konsensus, yang diikuti oleh seluruh pemangku
kepentingan seperti pemerintah (dari berbagai sektor), pelaku usaha, konsumen,
dan akademisi. Demikian teorinya. Mengingat proses ini, mestinya tidak ada
alasan untuk tidak menerapkan standar ini. Pelaku usaha secara otomatis
mengikuti standar dalam memproduksi produknya, pemerintah juga melakukan
pengawasan berdasarkan standar ini. Namun kenyataannya tidak demikian. Sebagai
contoh saja, penelitian yang pernah dilakukan YLKI terhadap 30 sampel produk
ikan dalam saos tomat, menemukan hanya satu sampel yang memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam standar. Pada saat temuan ini dibawa dalam suatu diskusi,
para pelaku usaha produk ini mengaku sulit, atau bahkan tidak mungkin, memenuhi
standar yang telah ditetapkan. Kalau sudah begini, untuk apa sebenarnya standar
dibuat?
Standar
yang ditetapkan ternyata tidak ‘harus’ diikuti. Karena ada, bahkan sebagian
besar, standar hanya bersifat sukarela. Artinya, terserah para produsen dan
pelaku usaha untuk menerapkan standar atau tidak. Tidak ada kewajiban untuk
itu. Tidak akan dipersalahkan apabila produsen menghasilkan produk yang tidak
sesuai bahkan di bawah standar yang ditetapkan.
Berbeda
halnya bila suatu standar ditetapkan wajib. Pelaku usaha, minimal, harus
memenuhi persyaratan standar tersebut. Malangnya, baru sebagian kecil produk
yang diwajibkan untuk memenuhi standar. Hingga saat ini baru 59 SNI yang
ditetapkan wajib. Untuk produk pangan saja, baru ada lima produk yang memiliki
standar wajib: air minum dalam kemasan, tepung terigu, garam beryodium, kakao
dan gula rafinasi. Produk lain diantaranya ban, besi baja, kabel listrik, lampu
swabalast, seterika listrik dan lainnya.
Untuk
produk yang telah diuji dan memenuhi standar, setelah memperoleh SPPT SNI
(Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI) yang dikeluarkan oleh Lembaga
Sertifikasi Produk (LSPro), berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan atau
produknya. Logo atau penandaan SNI seharusnya dapat digunakan konsumen sebagai
panduan dalam memilih produk. Sayangnya, masih banyak konsumen yang belum
mengetahui keberadaan serta makna SNI ini. Di sisi lain, bagi yang telah
mengetahuinya, ternyata sangat sulit menemukan produk yang mencantumkan tanda
SNI, karena masih sangat sedikitnya produk yang memiliki sertifikat SNI. Sebenarnya,
apa tujuan dibentuknya standar, dan untuk siapa standar dibuat? Tujuan standar
diantaranya adalah memberi jaminan keamanan dan mutu bagi konsumen, dan
membangun persaingan yang sehat pada pelaku usaha. Standar merupakan
kualifikasi (minimal) tertentu yang harus dipenuhi oleh suatu produk atau jasa,
sebelum dilempar ke pasar, dan dimanfaatkan konsumen.
Lalu,
apa fungsi standar? Bagi pemerintah, standar dibuat untuk menentukan kriteria
keamanan dan kualitas yang harus dipenuhi oleh suatu produk tertentu. Pelaku
usaha yang memproduksi jenis produk tersebut, minimal harus memenuhi kriteria
yang ditetapkan dalam standar. Oleh karena itu, standar juga dapat digunakan
oleh pemerintah sebagai alat kontrol, untuk memastikan produk yang beredar di
pasar memang layak dikonsumsi. Karena standar merupakan persyaratan minimal
yang harus dipenuhi, pelaku usaha dapat berkreasi mencari nilai tambah produk
dibandingkan produk sejenis lainnya. Di samping itu, pelaku usaha dapat
memperoleh sertifikat SNI, dikeluarkan oleh LSPro, yang merupakan pengakuan
terhadap kualitas hasil produksinya. Dengan memiliki sertifikat, pelaku usaha
berhak mencantumkan logo SNI pada kemasan produknya.
Bagi
konsumen sendiri, penandaan SNI pada suatu produk sebenarnya dapat dijadikan
dasar memilih produk. Penandaan ini merupakan jaminan dan kepastian bahwa
produk tersebut telah memenuhi syarat yang ditetapkan serta aman dan layak
dikonsumsi. Sayangnya, seperti disebutkan di atas, masih belum banyak
masyarakat yang memahami standar dan arti logo SNI pada produk. Di sisi lain,
belum banyak juga jenis produk yang telah memiliki sertifikat dan mencantumkan
logo SNI.
Masyarakat
justru lebih mengenali penandaan atau klaim-klaim selain SNI yang dicantumkan
pada kemasan, dan menjadikannya dasar untuk memilih. Misalnya saja keterangan
atau logo ‘halal’, atau keterangan ‘organik’ yang menunjukkan produk tersebut
bebas dari pestisida dan pupuk kimia. Atau klaim produk lain seperti ‘non
toxic’, ‘save energy’, dan lainnya, meskipun tidak ada kepastian kebenaran dari
klaim-klaim tersebut.
Pengawasan
Standar
akan berperan dalam perlindungan konsumen apabila pengawasan dilakukan dengan
benar. Yang paling bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan tentu saja
pemerintah atau instansi yang terkait. Pemerintah melakukan pengawasan baik
sebelum produk dipasarkan, maupun setelah produk beredar di pasar, termasuk
untuk produk-produk impor. Sayangnya, untuk produk selain pangan, obat, dan
kosmetik yang berada di bawah tanggung jawab BPOM, tidak jelas siapa yang
bertanggung jawab untuk pengawasan post-market. Konon, Direktorat Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa, Kementerian Perdagangan hanya mengawasi produk-produk
yang wajib menerapkan SNI. Sampai saat ini pun kita belum pernah mendengar
apakah institusi ini pernah menemukan pelanggaran SNI wajib, serta tindakan apa
yang diambil. Tindakan tegas dan penegakan hukum menjadi sangat penting apabila
pemerintah benar-benar ingin melindungi masyarakat. Sesungguhnya, peran
pengawasan juga menjadi kewajiban pelaku usaha, dengan memastikan quality
control dan quality assurance berjalan sebagaimana mestinya. Serta memastikan
menerapkan standar yang berlaku mulai dari hulu hingga hilir. Konsumen pun
dapat berperan dengan berani bertindak apabila menemukan produk yang dicurigai
tidak memenuhi standar dan peraturan.
Dengan
adanya berbagai perjanjian global yang memaksa Indonesia menerima produk-produk
impor hampir tanpa batasan apapun, standar menjadi instrumen penting untuk
memastikan produk yang masuk ke Indonesia adalah produk-produk yang baik. Tanpa
adanya standar, pemerintah tidak punya alasan untuk mencegah masuknya produk
impor yang tidak berkualitas. Meski seharusnya, untuk hal-hal terkait faktor
keamanan, pemerintah tidak perlu menunggu standar untuk melakukan pengawasan
dan pencegahan di pintu masuk impor. Semoga… Oleh: Huzna G. Zahir
Contoh Kasus
Perlindungan Konsumen
Pastikan
Buah Apel Impor Bebas Bakteri Listeria! #CaramelApples
#ProdukPanganTerkontaminasiListeria.
January 27, 2015
Apa
itu Listeria? Nama lengkapnya Listeria Monocytogenes, bakteri patogen yang
dapat menyebabkan keracunan dengan gejala yang timbul dapat berupa gangguan
pencernaan seperti mual, muntah, nyeri disertai deman. Gejala tersebut dapat
berlanjut menjadi lebih serius pada pasien yang memiliki daya tahan tubuh
rendah, pasien lanjut usia, serta dapat menyebabkan keguguran janin pada wanita
hamil. Lalu apa urusannya dengan kita? Saat ini telah terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) Listeriosis yang disebabkan konsumsi produk Caramel Apples yang
tercemar bakteri patogen tersebut di Amerika Serikat. Sekitar 32 orang telah
menjadi korban di 11 negara bagian di Negeri Paman Sam tersebut setelah
mengonsumsi Caramel Apples, dengan nama dagang Happy Apple (Lochirco Fruit
& Produce, Inc), Karm’l Dapple, Carnival (California Snack Foods, of El
Monte, California), dan nama dagang Merb’s Candies (Sugar Daddy Ltd). Karena
kasus tersebut, 3 perusahaan produsen produk tersebut telah melakukan penarikan
terhadap produk Caramel Apples. Terkait dengan kasus keracunan tersebut, pada
tanggal 6 Januari 2015, perusahaan pengepakan apel Bidart Bros of Bakersfield,
California, juga menarik Apel jenis Gala dengan nama dagang ‘Big B’ dan Apel
jenis Granny Smith dengan nama dagang ‘Granny’s Best’. Penarikan dilakukan
karena hasil pengujian di lingkungan fasilitas pengepakan menunjukkan adanya
cemaran bakteri Listeria dengan karakteristik yang sama dengan yang ditemukan
pada pasien keracunan. Bidart Bros merupakan pemasok Apel yang digunakan untuk
produksi Caramel Apples.
Nah,
sehubungan dengan KLB tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)
menyatakan bahwa mereka telah menerima informasi lengkap soal penarikan
produk-produk Caramel Apples. Juga telah melakukan penelurusan ke pasar
domestik (Indonesia). Hasilnya, tidak ada importasi produk olahan Caramel
Apples. Selain itu, Badan POM juga telah berkoordinasi dengan Kementerian
Pertanian dan Kementerian Kesehatan untuk ‘membentengi’ masyarakat Indonesia
dari kemungkinan masuknya produk Caramel Apples. Balai Besar/Balai POM di 32
provinsi akan mengawal pengawasan di daerah melalui Jejaring Pengawasan Pangan
Daerah. Juga melakukan pencegahan melalui mekanisme Surat Keterangan Impor
(SKI) untuk menangkal masuknya produk olahan Caramel Apples.
Melalui
keterangan pers yang disebarkan, Badan POM pun mengajak masyarakat untuk
berperan serta aktif. Caranya, dengan menginformasikan keberadaan produk olahan
Caramel Apples (bila ditemui di pasaran), dan bila memerlukan informasi lebih
lanjut dapat menghubungi Contact Center HALOBPOM 1-500-533. Atau SMS
0-8121-9999-533, atau melalui surat elektronik di halobpom@pom.go.id
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar